Kamis, 04 Juni 2015

Eksistensi Badik/Kawali di Tanah Sul-Sel

Lompobattang (Tatta' Mangkasarak)

Sipa' Sikaddong

Badik/Kawali - bukanlah istilah asing bagi sebagian masyarakat Sulawesi Selatan, badik/Kawali juga bukan hanya sebagai senjata tradisonal semata. Sebab badik tidak hanya sekedar menjadi penanda identitas yang lahir dari warisan kultural masyarakat, melainkan juga kadang difungsikan sebagai alat kekerasan dengan jalan melukai dan menghabisi nyawa manusia. Meski demikian, badik/Kawali juga terkadang sebagai landasan filosofi hidup serta menjadi penopang harga diri (siri’) yang melekat pada diri setiap orang. Siri’ sendiri adalah merupakan puncak tertinggi dari nilai kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan yang senantiasa harus dijaga dan diperjuangkan. Karena hanya dengan siri’ lah eksistensi diri sebagai manusia akan ditemukan. Sehingga tidaklah mengherankan jika mayoritas dari masyarakat Bugis-Makassar rela bersimbah darah dan bahkan tidak gentar dengan kematian demi menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia.Dalam perspektif lain, badik/Kawali juga sering dimaknai sebagai ikon kebudayaan sekaligus menjadi penanda identitas keberanian serta prinsip hidup seseorang. Oleh karenanya, mereka yang bepergian atau merantau pada masa lampau tanpa dibarengi dengan sebilah badik/kawali, maka sama halnya ia bepergian tanpa prinsip. Karena badik/kawali adalah bagian akhir dari sandaran “keselamatan hidup” saat berada di negeri rantau.Dalam konteks ini, badik/kawali  telah menjadi bagian dari filsosofi hidup yang tidak bisa dipisahkan ruang kehidupan sosio-kultural masyarakat Bugis-Makassar. Filosofi hidup tersebut dikenal dengan istilah Tallu Tellu Cappa’ yang berarti 3 ujung, yang senantiasa difungsikan jika ingin selamat di negeri rantau. Tallu Tellu Cappa’ yaitu: 1. Ujung lidah sebagai, sebagai alat komunkasi dengan tutur kata yaang jujur dan sopan.2. Ujung kelamin, difungsikan untuk mengawini penduduk setempat (pribumi) sebagai bentuk pelanggengan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan, serta menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat.3. Ujung badik, badik/kawali yang menjadi jalan terakhir ketika segala persoalan yang dihadapi tidak bisa lagi diselesaikan dengan tutur kata yang santun, bijak dan penuh kekeluargaan. Dari ketiga filosofi tersebut, kita dapat melihat posisi badik/kawali berada di bagian akhir. Ini menandakan bahwasanya badik menjadi penopang hidup akhir dari episode kehidupan ketika sebuah persoalan tidak mampu lagi diselesaikan dengan jalan bijak dan beradab. Atau dengan kata lain, badik/kawali bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap kejahatan dan pelindung moral atau idealisme yang melekat pada diri setiap orang, serta menjadi sandaran hidup dalam upaya mempertahankan eksistensi diri sebagai manusia. Badik/Kawali tidak hanya sekedar menjadi kata, tapi sudah menjadi istilah kultural bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan. Orang yang berbudaya badik/kawali akan malu berbuat kejahatan, melawan kejahatan (lempu) serta malu jika tidak sanggup menegakkan keadilan demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan (pacce’) di antara sesama, khususnya dalam melindungi orang-orang yang teraniaya. Oleh karenanya, fungsi badik/kawali adalah untuk menjaga harga diri dengan memperjuangkan lempu / pacce’ melalui sikap, tutur kata dan tindakan nyata yang lebih bermoral dan beradab. Badik/Kawali dicabut dengan tujuan untuk membela kebenaran dan sekaligus menikam kejahatan yang melekat pada penjahat. Matinya penjahat bukanlah tujuan, melainkan sebuah akibat, karena sesungguhnya kejahatanlah yang menjadi tujuan akhir dari tikaman badik tersebut.Eksistensi badik/kawali digambarkan bukan lagi ibarat sesuatu yang kedengarannya sangar di telinga, melainkan lebih kepada upaya yang sangat manusiawi, di mana badik/kawali dilihat sebagai simbol ketegasan dan keberanian untuk melawan kezaliman serta dampak buruk yang ditimbulkan oleh kezaliman tersebut. Prinsip hidup inilah yang sebenarnya harus mampu dipahami dan dibumikan dalam relasi kehidupan sosial manusia Bugis-Makassar di manapun ia berada, sehingga dengan demikian akan tercipta pola hidup yang humanis, penuh khidmat dan keadlian.Demikian juga, badik/kawali sebagai istilah yang boleh dikatakan klasik dalam kamus kehidupan masyarakat Bugis-Makassar yang hadir dalam ruang dan zaman yang berbeda dengan masanya. Maka sejatinya harus mampu dimaknai ulang, di mana istilah badik tidak lagi menjadi inspirasi dari praktek kekerasan, melainkan menjadi prinsip hidup dalam upaya membangun kehidupan yang lebih manusiawi.
PERBEDAAN BADIK DAN KAWALI
Badik dan Kawali adalah senjata tajam  dengan bentuk yang khas dengan bilah yang pipih bersisi tajam tunggal atau ganda, dengan panjang mencapai sekitar setengah meter.  bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor.
Mungkin ada yang bertanya apa perbedaan Badik dan Kawali?  Selain secara bahasa, badik  adalah sebutan dengan bahasa makassar,  sementara Kawali lebih di kenal di Bahasa Bugis. Keduanya pun memiliki beberapa perbedaan yang mendasar,  mulai dari jenis dan bentuk serta pamor.Sejak ratusan tahun silam, Kawali dan badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan..
Secara umum badik/kawali terdiri atas Beberapa  bagian, yakni Pangngulu  (gagang) dan Mata  (bilah besi), serta sebagai pelengkap selain estetika adalah wanuang atau warangka  yang berfungsi sebagai sarung badik serta Pakkalasa’ (hiasan pada gagang dan sarung )
Gagang Badik/Kawali Pada Umunya terbuat dari kayu Kualitas Tinggi seperti Kayu Palopo atau kemuning  sementara Wanuang atau sarungnya biasanya terbuat dari Kayu Cenrana Atau cendana. sementara pada perkembangannya beberapa bahan kayu lainnya pun mulai dipergunakan , bahkan ada juga Pangngulu dan wanuang  terbuat dari Gading dan Tanduk
Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik/kawali memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya. hal ini tak luput dari cara kita melihat dan memahaminya .
Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik/kawali, keduanya tetaplah sebuah benda seni budaya dengan estetika tinggi  yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki.
Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali” (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki kawali).


Jenis Badik
  •  De'de taeng
  •  Lompo Battang
Jenis Kawali
  •  Luwu
  •  Malela/Kawali Tanpa Pamor
  •  Gecong
  •  Sari
  •  Sakking
  •  Ula’Deddu’…
  •  Oseng Koseng
  •  Sipa’ Sikaddong
  •  Toasi
  •  Gecong Raja
  •  Cindakko
  •  Sasak

Pamoro’ atau Ure’ / Pamor

Pamor adalah berkas atau guratan terang pada bilah senjata dari logam  yang muncul akibat pencampuran dua atau lebih material logam yang berbeda. dengan Motif  Alam.
Pamor terjadi akibat pemanasan, pelipatan, dan penempaan yang berulang-ulang dalam proses pembuatan Bilah senjata ,  oleh pandai besi yang berpengalaman, dapat dibentuk mengikuti pola tertentu. Terdapat baberapa motif utama yang telah diciptakan oleh para panre’ bessi atau pandai besi dalam membentuk pamor yang akan menghiasi sebuah Badik/Kawali, hal ini terpengaruh oleh Letak geografis dan Kondisi Alam ,seperti pada filosofi Bugis Makassar yang dikenal sebagai Daerah  Maritim dan Agraris, keduanya pun tertuang dalam Keterampilan memanipulasi bentuk pamor serta tehnik menempa logam dan besi yang terinspirasi dari alam  serta dikuasai oleh para Pandai Besi yang dikenal dengan Sebutan Panre Bessi atau Empu.
Senjata-senjata berpamor ditemukan pula pada temuan arkeologi di kawasan Tiongkok selatan dan Indocina. Dari kawasan Persia dikenal pula teknik pemrosesan logam yang menghasilkan tampilan serupa pamor yang materialnya disebut baja damaskus (damascene). Karena itulah, pamor pada Badik/Kawali kadang-kadang dianggap bagian dari teknik damascene.

Jenis Pamor

Beragam jenis pamor yang biasa terdapat pada Kawali Maupun Badik  yang lazim digunakan dan merupakan Manisfetasi dari Alam yang Agraris dan maritim  pada keduanya antara lain :
  •  Bunga Pejje’ atau Kristal garam
Jenis pamor ini secara kasat mata terlihat seperti kristal garam yang mengkilat menghiasi kedua sisi bilah , pamor ini tercipta biasanya dari bahan dasar besi atau logam yang ditemukan di dasar lautan seperti jangkar kapal karam maupun lambung kapal yang berbahan logam. namun tidak semua bisa menjadi bahan dasar pamor yang bagus.
  •  Tebba’ jampu Atau Motif Batang Jambu
Inspirasi pembuatan pamor ini berasala dari alam, yakni batang pohon  jambu batu atau jambu klutuk, pamor ini biasanya banyak terdapat pada Badik dan Kawali.
  •  Daung Ase atau Daun Padi
Tekhnik menyusun pamor ini menjadi motiif daun padi yang tersusun sedikian rupa , dan pada umunnya digunakan pada Badik dan Kawali.
  •  Bojo  atau keong
Pamor ini hanya terdapat pada Kawali  berbetuk seperti spiral rumah keong atau siput dan diletakkan pada pangkal bilah berdekatan dengan Pangngulu Atau Gagang dan menjadi ciri khas.
  1.  Ure’ tuo /Akar
  2.  kurissi…
  3.  Sikadong
  4.  Siso
Sekilas bentuknya seperti pamoro bojo atau keong , pamor ini banyak terdapat pada Badik , namun berlawanan bentuk lebih mirip susunan mata kail.

nah mungkin cukup disini hal yang bisa saya tuliskan sebagai dasar mengenal Badik/Kawali sehingga kita bisa mengenal dan menggali lebih dalam kekayaan nusantara yang berupa senjata tajam, seperti kata pepatah , tak kenal maka tak sayang , tak sayang maka cinta.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengharagai kebudayaanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar